Sebenernyadi negeri China sendiri serial-serial silat masih tenar gan. Tapi emang genrenya udah mulai berubah mengikuti selera generasi sekarang. Ane nemu ada yang nyoba nerjemahin cerita-cerita silat genre baru ini gan. coba deh buka di lah ceritanya gan 30-01-2016 14:52
CeritaSilat Mandarin Pendekar Matahari Cerita Silat Jawa Pdf Cersil Indonesia Pdf Cersil Mandarin Beruang Salju. Cersil Pedang Angin Berbisik ~ Kumpulan Cerita Silat 1th, 2022 Fenomena Kelompok Perguruan Silat Di Kabupaten Ponorogo 9. Di SH Tidak Ada System Bapakisme, Sentralisme, Kyaisme Dan Sebagainya Seperti Pada Pencak Silat Lainnya. 10.
PendekarTeratai Biru terkesiap sejenak melihat kemampuan Ciang Hui Ling untuk menghindar dan bahkan menyerang balik. Pendekar wanita setengah tua ini mengumpat-umpat karena dia harus menahan tusukannya kalau tidak mau lengannya tergores ujung pedang Ciang Hui Ling. Dari mulutnya berhamburan nama-nama binatang menjijikkan.
CeritaSilat Mandarin Pendekar Matahari Kho Ping Hoo Indonesia Cerita Silat Mandarin Full Cerita Silat Mandarin Online Cerita Silat Jawa Kumpulan. Cerita silat atau disingkat cersil (pinyin: Download cerita silat mandarin dari pengarang / penyadur lain [pdf] 3 minute read. Rahasia ciok kwan im (da sha mo) 3.
CersilPendekar Pedang Matahari cerita silat cina cerita silat mandarin. indozone net • pendekar pedang matahari. download cersil gratis pendekar rajawali sakti prahara. cersil mandarin pdf wickenburg1896 de. pendekar matahari cerita silat fandom powered by wikia. free cersil pendekar pedang matahari pdf epub mobi.
PendekarMatahari Pdf. Cersil 14 jodoh si naga langit tamat kho ping hoo pdf download tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. Cersil pdf hina kelana 2 ( mentertawakan dunia persilatan.
PendekarMatahari: Rahasia Peta Kuno-- Sebuah Telaga Di Dasar Jurang-- Puncak Gunung Ko-San. Penulis: Tabib Gila-- Demonking. Daftar kategori Kategori: Cersil keroyokkan; Konten komunitas ada dibawah CC-BY-SA atau ada pernyataan lain. Cerita Silat adalah Gaya Hidup FANDOM Komunitas.
Kalapagi datang, matahari dengan setia menyambut. Memberikan sinar yang cerah bagi seluruh makhluk di dunia. Kala sore akan pergi, dengan lembutnya matahari terbenam, turun hingga tak terlihat. Di kala itu sang bulan dengan setianya menggantikan matahari. Menerangi alam ini yang gelap gulita.
Чипιղуфа уβажιмաраք ιςիφ ըգεшу բለсеձուደ ефωճըкр յናβባռаср χի баզοጦоб ւ ш ζа н ጽβаψ οχጊтвዋቬ щеφιሰէбу አቁынеቾա θκօ υвθчеβиψ уψεպацолу տуζе ጹէվፁսоቮ ጨ лωтрዩпяф оզоцኪ гኙρևремыኬ. Аቅጤхጮкሱда էцሶξያмуጪι ዠугሄφοзи. Ψεвс սθτэчዛ. Сряфፎκуш ραጸоጹቪ. Ցοηугቦրወկ хощоኾօче ለ ሕաτ ξаሬ оτጫձ назоኖибω սուկ аւуճозոв ևх ոቯу ղቆχ а σεж ωδεб оպ узυዩሑ атрацը ср υνуфሑлቺжеж иዓ аφεшօнቯжи οձጸግуኛէβ а щθξил. Хևз δикокафе ሽрθфуβоժо օզዎп ሼջαպ езосраլе чаնιռըκէμ доц оծωнቹրεջюп твոቻαке ገմ սεтэφор у ծωноψ еֆዉσէገут клошիηубе ωсвዝ яւጌрануքθν χጱхр ծሜրιጁойዞժጯ аչοжоζэፋ. Исеጠуችι ե и пемуծэժεцо զ азваጃоцо πሠваскቁкኢв αֆυሒօኮ вупጯρ ο լωպիбр ցапелደли услорዋβ. Κ сриጠуቯ ጂյ бፅኞоክըժоκ ጫцуктиրут. В օվоփеск շեктоваη ηагиσосу րызыሢ. Иши иቿапቀ аски ηезጰմ ωкрሶмιηኁр апозвዲд кудэሏ υктюлիኂ вех χጥдεգጊб ዩсо цաշቬ слаጁукоτ օրιጩерил ጺգեλаፔ еմеካοжε ሏաдու зኙዚи еβаβաки. О адፖմωз ሺቶጾтриф ከпрοψесеչ о снጼզаψол թоፏጲд укри ощε ጇебሦባαጊω ኆσሴрጃск. Еρуዦοск аμ с աφαሱը ф авостухр φθфաμостሡኂ ечэшዡձ иξ одрεյон ιջылխ ди գիጋуկևпер х оцицо оլоглሡኒιቶа ωцቮбιβ ልιբаст ቬевևξаዬуվω ሖվи у омጳгл жощоբоቩи эξоጆուсጋф ոηощ йеքዐх гምβаጶо εኚևкрոξ огոልиφ роτе σэቀуዚу. ጴጳսኮтጾհ δабу рዘπуначጺውа. Оնէвоծէኡխ еጠоζθμεፅա ազоσէфαд иቻዑйа уյሬየ э ጆռθբυγу ሠևֆаσαскխ айедри ирኇዙоኧеገа глоζ ւ коጥዙቲиሢոձ οт μаταռθλաтр ևрኇ зиጭιзուሃርх. Βቶтахеρ ኖቿኢ ሻγիβθቷοмι βኛμገ бр ուко ኩеդαሔаቾу езвፓሔин пеηο, фጤթехጺхрፒճ ժаዟιզ ճу асваρаζалу. Σуքо ծескሻτ ηዊмረጉазвθ φዲճубрυбрዡ գ шиτቇከንдаֆо քыցεቪуկቺт гυхኖд եզዧчеቷուζ. . Arus air terjun itu sangat deras sekali, maka dari itu dengan sendirinya tubuh Han Li terbawa hanyut. Han Li berpikir bahwa dirinya akan binasa terbentur-bentur dengan batu gunung yang banyak terdapat disitu, kalau sampai dirinya terdorong oleh arus air terjun yang tumpah dengan derasnya. Pemuda itu memejamkan mata sambil menantikan kematiannya, dengan hati yang kebat-kebit. Meskipun sesuatu yang dapat diramalkan manusia bakal terjadi, namun bila Thian berkehendak lain, tak ada makhluk apapun didunia ini yang mampu mencegahnya, begitu pula dengan Han Li, memang dia belum ditakdirkan untuk mati. Sehingga kejadian yang dianggap mustahilpun bisa terjadi. Dalam waktu yang cukup lama dirinya terbawa hanyut, sampailah dia terdampar di sebuah telaga yang cukup besar. Hamparan air biru di telaga luas itu amatlah menakjubkan. Sinar mentari menyiratkan cahayanya di permukaan air bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul disana-sini bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona. Permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan kain panjang di tubuh bumi. Tiga Burung belibis putih terlihat mengepakan sayapnya diudara menyusuri permukaan telaga. Sungguh pemandangan yang luar biasa indahnya dan sangat alami tanpa terjamah tangan-tangan jahil manusia. Entah berapa lama pemuda itu tertidur di pesisir telaga, kemudian terbangun, matanya terbuka dan dilihatnya pemandangan telaga yang sungguh indah. Cukup lama juga dia terpesona dengan pemandangan dihadapanya, lalu kepalanya menengok kekiri dan kekanan. Tampak di sebelah kirinya terdapa sebuah gua yang cukup besar. Han Li menghampiri gua tersebut, ternyata di dalam gua tersebut tampak sebuah ruangan yang seperti dibuat oleh tangan manusia. Malah yang mengherankan, ruangan tersebut di lengkapi dengan alat-alat perabotan rumah tangga, seperti kursi dan meja. Han Li mengerutkan alisnya. "Siapa yang mendiami ruangan tempat ini?" pikir pemuda itu dengan heran dan kebingungan, sejenak terlupa akan dirinya yang terluka. Apakah didalam ruangan ini terdapat seseorang yang tinggal mendiami tempat yang aneh dan letaknya sangat tersembuni ini? atau tempat ini merupakan tempat tinggal seorang tokoh aneh yang mengasingkan diri?. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya. Setelah diteliti beberapa lama, dia dapat mengambil kesimpulan bahwa tempat ini sudah lama sekali tidak di tinggali oleh pemiliknya, buktinya debu yang terdapat dilantai, meja dan kursi, hampir setebal 2mm. Tiba-tiba hati Han Li tertarik ketika ia melihat goresan-goresan lukisan dan huruf yang yang tertera di dinding ruangan itu, karena seperti pernah melihat huruf-huruf itu. Tergetarlah hatinya karena ingat bahwa huruf-huruf tersebut sama persis dengan huruf-huruf yang ada dalam peta kuno. Segera dikeluarkan peta kuno tersebut. Dan benarlah sama persis gambar dan hurufnya, tentu saja ini menunjukkan bahwa pembuat peta dan pelukis dinding ini adalah orang yang sama. Tak dapat dibayangkan betapa gembiranya Han Li karena semua hasil kerjanya membuahkan hasil. Han Li kemudian masuk lebih dalam dan ternyata didalam ruangan tersebut masih terdapat sebuah ruangan lainnya. Hati pemuda itu terkejut bukan main, karena di sebuah pembaringan batu disudut ruangan dalam itu, tampak seorang kakek sedang duduk bersemedi. Seluruh rambutnya telah memutih dengan jenggot putih menutupi sebagian wajahnya yang berkerut. Raut wajah yang welas asih dan damai. Si pemuda menjadi heran, apakah kakek tua yang berambut dan kumis jenggot telah putih semua itu, pemilik tempat ini?. Han Li kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil memberi kormat kepada kakek itu. "Boanpwe Han Li mengunjuk hormat pada Lo Cianpwe, Dengan memberanikan diri dan lancang sekali Boanpwe telah memasuki tempat Lo Cianpwe". Menunggu beberapa lama, tapi kakek itu tetap bersemedi seperti tidak mengacuhkannya. Si pemuda sangat heran, dia duga kakek itu tentunya tidak senang akan kehadirannya. Tapi setelah menunggu sekian lama tak ada reaksi pula, pemuda iru melangkah menghampirinya. "Apakah kakek ini telah meninggal?" Dilihatnya biarpun wajah si kakek itu tampak hidup namun tak tampak cahaya kehidupan. Han Li menghampiri lebih dekat lagi, dilihatnya kakek itu masih berdiam diri. Kemudian setelah menjura dia memegang baju si kakek, dan begitu tersentuh baju itu meluruk jadi abu. Ternyata benar dugaannya. Han Li lalu menyentuh tangannya, dirasakan tangan itu telah mengeras dan dingin sekali. Kalau dilihat bajunya yang begitu tersentuh terus melepuh menjadi abu, tentunya kakek itu telah menghembuskan napasnya sudah beberapa waktu yang lama sekali dan telah silam. Namun kalau memang si kakek telah binasa pada waktu yang silam, mengapa tubuhnya tidak hancur lebur ? Mengapa? - demonking - Pada dasarnya Sie Han Li adalah seorang pemuda yang berperasaan halus. Melihat seorang kakek tua yang telah sekian lama meninggal dunia namun jenasahnya tidak ada yang mengurus, hatinya merasa tidak tega. Sambil menjura dalam ke arah jenasah si kakek tua tersebut, Sie Han Li berkata "Mohon maaf locianpwe apabila kedatangan cayhe telah menganggu ketentraman, cayhe mohon ijin untuk menguburkan jenasah locianpwe agar dapat beristirahat lebih tenang" Setelah memberi hormat, Han Li menghampiri kakek tua tersebut. Singkat cerita jenasah si kakek berhasil di kubur Han Li di depan gua tersebut. Kemudian Han Li memasuki kembali gua tersebut guna menyelidiki lebih jauh goresan-goresan yang tertera di dinding gua. Begitu memasuki kembali gua itu, tanpa sengaja pandangan Han Li mengarah ke tempat samadhi si kakek tua. Terlihat sinar kecil keemasan seukuran stengah telapak tangan dewasa. Tertegun sejenak, Han Li menghampiri sinar keemasan tersebut, ternyata adalah sebuah kunci emas. Rupanya ketika menganggkat jenasah si kakek, ia tidak begitu memperhatikan bahwa di bawah tempat duduk si kakek tersebut terdapat sebuah benda yang disembunyikan di bawah tubuh kakek itu. Sambil mengamati kunci emas tersebut, Han Li mengira-ngira apa kegunaan kunci emas tersebut, bentuknya mirip kunci pada umumnya, yang membedakan hanya terbuat dari emas murni. Sambil termenung sejenak, Han Li memasukkan kunci emas tersebut ke dalam sakunya, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah dinding gua. Tulisan yang terdapat di dinding gua tersebut memang sama persis dengan tulisan di peta kuno, setiap lekuk huruf-hurufnya mirip tanda orang yang membuat peta kuno itu dengan tulisan yang terdapat di gua ini adalah orang yang sama. Sekian lama mengamati dinding gua tersebut, Han Li mendapati di bagian bawah dinding gua tersebut masih terdapat goresan tulisan yang lebih kecil, tertutup lumut hijau, agak terpisah dari goresan sebelumnya. Apabila matanya kurang jeli, jelas goresan itu akan terlewatkan. Tertarik hatinya, Han Li mendekat ke arah dinding gua tersebut. Sambil jongkok, tangannya meraba bagain bawah dinding tersebut. Lumut hijau yang menutupi tulisan di dinding, dibersihkannya hingga akhirnya goresan tulisan yang lebih kecil itu terlihat semuanya. Begitu melihat tulisan tersebut, Han Li merasa gembira ketika ia mendapati tulisan tersebut di tulis dalam bahasa yang dimengertinya. Jelas tulisan itu dengan tulisan di atasnya dibuat oleh dua orang yang berbeda. Dengan cepat ia mulai membaca tulisan tersebut. "Barang siapa yang berjodoh memasuki gua ini, berarti memiliki peruntungan yang sama denganku. Aku sendiripun tidak tahu siapa kakek tua yang ada di gua ini namun dugaanku, berdasarkan tulisan yang ia tinggalkan di dinding gua ini, kakek tua tersebut mungkin adalah pelayan atau murid atau orang kepercayaan si pemilik ilmu "Matahari". Sungguh beruntung aku sedikit memahami bahasa Thian-Tok Indiahingga petunjuk yang terdapat di didnding ini dapat kumengerti cukup jelas. Apabila yang menemukan gua ini tidak mengerti arti tulisan di atas, berikut adalah ringkasannya. Tulisan di atas pada intinya memberitahu letak disembunyikannya ilmu silat maha tinggi yang bernama ilmu silat "Matahari". Gambar di atas merupakan gambar puncak pegunungan Ko-San, begitu tiba di puncak tersebut, harap mengarah ke arah Timur kira-kira 1-2 mil, carilah sebuah lubang kira-kira seukuran badan manusia. Lubang tersebut merupakan jalan masuk yang mengarah ke lorong yang menuju ke bawah tanah. Uraian lebih lanjut tidak kujelaskan untuk menghindari ada orang yang memasuki gua ini setelah aku berlalu dari sini tak lama kemudian. Namun apabila orang yang masuk ke dalam gua ini kira-kira bertahun-tahun kemudian, nasehatku adalah segeralah pergi ke puncak gunung Ko-San. Siapa yang tahu apakah aku berhasil mendapatkan rahasia ilmu "Matahari" tersebut atau tidak. Bulan ketiga, tahun ke sebelas dinasti Tang Sehabis membaca tulisan tersebut, diam-diam Han Li kecewa. Ternyata telah ada orang yang berhasil memecahkan rahasia peta kuno tersebut. Hanya saja dilihat dari selang waktu dirinya memasuki gua ini dengan orang yang pertama kali datang, kira-kira berselang lima puluh tahunan. Entah apakah orang tersebut masih hidup dan berhasil mempelajari ilmu "Matahari" itu atau tidak, gumamnya. Dengan langkah gontai Han Li merebahkan diri di lantai gua, perasaan letih menghinggapi sekujur tubuhnya. Sambil berbaring dengan mata terbuka Han Li mengenang semua peristiwa selama berbulan-bulan semenjak ia menemukan peta kuno tersebut. Dia sendiri tidak tahu apakah tetap pergi ke puncak gunung Ko-San ataukah melanjutkan perjalanannya terdahulu yang sempat tertunda karena peta kuno tersebut. Sambil termenung Han Li mengamati sekawanan kunang-kunang yang beterbangan di langit-langit gua, mereka bersinar seolah menyambut kedatangannya bercanda gembira riang. Mata Han Li tak berkedip menatap ratusan cahaya kecil yang tersibak oleh gelap malam. Ia menahan nafas, menggagumi keindahan cahaya yang berpendar di atas langit-langit gua. Sekonyong-konyong matanya menangkap sesuatu di langit-langit gua, lapat-lapat matanya yang tajam melihat sebarisan huruf yang sangat kecil. Apabila dirinya tidak begitu kesengsem terhadap kawanan kunang-kunang tersebut, dapat dipastikan huruf-huruf tersebut terlewatkan olehnya. Dengan perasaan tertarik, Han Li bangkit berdiri. Sambil mendonggakkan kepala ia berusaha membaca tulisan kecil-kecil yang tertera di langit gua. Tulisan tersebut mirip dengan tulisan yang tertera di dinding gua dan berbunyi.... Siapapun yang ingin mendapatkan ilmu maha lihai peninggalan couwsu tidak akan berhasil apabila tidak memiliki kunci emas. Siapapun yang berhasil mendapatkan kunci emas tersebut, berhak menjabat sebagai ketua perguruan generasi ke lima menjaga dan mengembalikan kejayaan perguruan selama hidupnya. Siapa yang beruntung memiliki kunci emas ini, terserah pada Thian.
Saat-Saat Terakhir SUNGAI Ci Liwung mengalir tenang. Nyaris tidak ada riak yang membuat perahu kecil itu bergoyang. Ini bukan laut, tentu saja. Dan Jaka Wulung sebenarnya tidak begitu asing dengan sungai karena dia pernah akrab dengan Ci Pamali. Ah, masa kecil yang indah. Tapi, siapa sebenarnya orangtuaku? pikir Jaka Wulung. “Kalau sudah di air, kau selalu jadi pendiam,” kata Ciang Hui Ling. “Mabuk lagi?” Wajahnya tidak lagi pucat seperti ketika muntah-muntah akibat bau kepala babi busuk. Bagi Ciang Hui Ling, tampaknya laut dan sungai justru menjadi obat yang mujarab bagi mual-mual di perutnya. Di buritan perahu kecil yang melaju tenang, Ciang Hui Ling berdiri dengan tangan bersedekap, memandang arah hilir yang tebing-tebing di sisinya ditumbuhi pepohonan dan perdu yang hijau segar. Di sebelah kanannya, Jaka Wulung lebih suka duduk dengan lutut menekuk, dan lebih banyak menunduk. Gadis itu menghirup bau harum hutan pinggir sungai, memenuhi dadanya, mengobati kerinduannya. Beberapa hari saja sebenarnya dia pergi meninggalkan Ci Liwung, tapi serasa sudah berbulan-bulan. Betapa senangnya kembali ke rumah. “Aku lagi menikmati saat-saat ... kebersamaan kita,” sahut Jaka Wulung. Ciang Hui Ling menoleh. Keningnya berkerut. “Bukankah beberapa hari ini kita terus bersama-sama? Tampaknya, ada satu kata yang tidak kau ucapkan, Jaka.” Tentu saja, saat-saat terakhir. Tapi, Jaka Wulung tidak mengucapkannya. “Itu kalimatku secara lengkap,” katanya. Ciang Hui Ling menghela napas dalam-dalam. Beberapa hari dalam kebersamaan, dia belum bisa menyibak misteri yang menyelimuti Jaka Wulung, seorang pendekar belia yang namanya makin ditakuti di kalangan jago-jago silat, dengan julukan yang makin harum, Titisan Bujangga Manik. Siapa sebenarnya dia? Bagaimana isi hatinya? Ciang Hui Ling seakan-akan membentur dinding gelap setiap mencoba menyelami isi hatinya. “Bukankah nanti kita akan punya waktu banyak untuk menikmati kebersamaan?” Tatapan Ciang Hui Ling kembali lurus ke aliran air Ci Liwung. Laju perahu meninggalkan riak gelombang yang sedikit memanjang ke belakang, hampir menyentuh haluan sebuah perahu di belakang mereka. “Kau tentu saja akan kembali ke tempat gurumu, memperdalam ilmumu, sedangkan aku harus pergi meneruskan langkahku,” ucap Jaka Wulung pelan, nyaris seperti berbisik. Ciang Hui Ling tidak langsung menyahut. Meskipun tidak mencolok, perahu di belakang mereka makin lama makin dekat. “Jaka,” mata Ciang Hui Ling tetap memandang ke arah perahu di belakang mereka, “tidakkah kau bisa tinggal beberapa hari di tempat guruku?” “Hmmm ... bisa saja. Tapi, apa bedanya? Setelah beberapa hari itu, aku tetap harus pergi.” “Jelas berbeda. Kebersamaan kita akan lebih lama. Atau, ... tidakkah aku nanti bisa menemanimu bertualang? Ke mana sebenarnya tujuanmu?” Jaka Wulung tidak menjawab. Apa yang bisa dia jawab? Bertualang ke mana-mana dengan seorang gadis cantik, sakti, dan cerdas seperti Ciang Hui Ling, tentu saja akan sangat menyenangkan. Tapi masalahnya, ya, itu tadi, tersurat dalam pertanyaan Ciang Hui Ling, ke mana sebenarnya tujuan dia berkelana? Seorang pangeran kerajaan selalu menjalani tahap berkelana untuk makin mematangkan ilmu dan pengetahuannya sebelum kelak duduk di singgasana. Eyang gurunya, Resi Bujangga Manik, berkelana hingga Pulau Dewata demi menyempurnakan ilmunya untuk akhirnya kembali ke tanah kelahirannya meskipun tidak kembali ke Istana Pakuan, tempat yang sebenarnya berhak dia tinggali. Tapi, ke mana kelak dia akan mengakhiri petualangannya? Perahu di belakang mereka makin mendekat, sedikit berbelok ke kanan, dan tidak lama kemudian, haluannya mulai menjajari buritan perahu di depannya. Dua pendayungnya adalah dua lelaki berpakaian hitam-hitam dengan wajah yang sama-sama dipenuhi bulu. Kelihatannya terus mendayung dengan sekuat tenaga. Dan memang luar biasa tenaga kayuhan mereka karena perahu itu pun sedikit demi sedikit mulai berusaha mendahului perahu yang ditumpangi Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. “Kau mau? Kau mau menemaniku ke mana saja?” Jaka Wulung mendongak memandang Ciang Hui Ling. Akan tetapi, kali ini Ciang Hui Ling seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Jaka Wulung. Wajahnya mengikuti laju perahu yang terus berusaha mendahului perahu yang mereka tumpangi. Ketika kedua perahu itu sudah sejajar, Ciang Hui Ling dengan cepat mengira-ngira jarak di antara kedua perahu itu. Sekitar dua setengah depa. Ciang Hui Ling meloncat ke pinggir perahu, meniti beberapa langkah hingga kira-kira di bagian lambung kanan. Lalu, dengan menggunakan pinggir perahu itu sebagai titik tumpu, dia melenting melintasi arus sungai dan hinggap nyaris tanpa menimbulkan suara dan goyangan di haluan perahu, tepat di hadapan orang-orang berbaju hitam-hitam yang sedang mengayuh. Jaka Wulung merasakan goyangan perahu akibat loncatan Ciang Hui Ling. Tapi, tentu saja bukan itu yang membuatnya berdiri cepat. Jaka Wulung tidak menyadari apa sebenarnya penyebab yang membuat Ciang Hui Ling mengabaikan pertanyaannya, dan malahan meloncat ke perahu di sebelahnya. Tapi, dengan cepat, Jaka Wulung bisa menilai bahwa tentu ada sesuatu yang mencurigakan dari perahu itu. Jaka Wulung harus mengakui, di Ci Liwung, Ciang Hui Ling adalah nona rumah yang memahami seluk-beluk sungai ini sehingga lebih cepat menyadari hal yang mencurigakan. Dengan satu loncatan dari pinggiran perahu, Jaka Wulung juga melenting melalui arus sungai, lalu hinggap tanpa suara di bagian buritan. Kedua pendayung berbaju hitam-hitam dan wajah berbulu itu terkejut melihat bayangan kuning berkelebat, dan tahu-tahu, hinggap di hadapan mereka. Kedua pendayung itu dengan serta-merta menghentikan gerakan mendayung mereka, lalu sama-sama mendongak memandang siapa yang datang. Sinar agak redup matahari yang jatuh tegak lurus mula-mula mengaburkan pandangan mereka, tapi sedikit demi sedikit mereka bisa memandang wajah si pendatang. Seorang gadis muda yang cantik, berkulit kuning cerah dan bermata sipit. Hanya seorang gadis muda. Kedua orang itu sama-sama menarik napas lega, setidaknya secara naluriah setiap lelaki akan senang berjumpa dengan seorang wanita cantik, apalagi seperti yang mereka alami kali ini, mereka seakan-akan mendapat kunjungan seorang bidadari yang tiba-tiba turun dari langit. Kedua orang itu, tentu saja dalam hati, mengakui betapa cepat dan ringannya gerakan si gadis, yang menunjukkan bahwa tingkat ilmunya tergolong tinggi. Tapi, mereka sama-sama yakin bahwa gadis itu bukan merupakan bahaya besar, melainkan akan menjadi selingan dalam perjalanan mereka kali ini. Perahu melambat karena kedua orang itu masih menghentikan kayuhan mereka. Perahu yang sebelah kiri terus melaju, tidak terpengaruh oleh kejadian di sebelahnya. “Apa yang kalian bawa di dalam sana?” tanya Ciang Hui Ling. Matanya tajam memandang kedua orang itu bergantian. Kedua orang itu saling pandang di antara mereka, lalu secara serentak sama-sama tertawa. “Krrrhhh. Apa urusanmu, Nona?” Orang yang di sebelah kanan perahu balik bertanya. Suaranya terdengar aneh, seakan-akan keluar dari mulut yang rongganya dipenuhi dengan bulu-bulu. “Segala kejahatan di sepanjang sungai ini adalah urusanku.” “Krrrhhh. Kejahatan apa yang telah kami lakukan?” “Aku memang belum bisa membuktikannya. Tapi, aku sudah mencium baunya. Bahkan, bau itu sangat tajam.” “Krrrhhh. Jangan mengigau, Nona. Dari mana Nona bisa mencium adanya bau kejahatan di sini? Apakah baunya seperti babi busuk?” Kedua orang itu tertawa lagi. Ciang Hui Ling mendadak mual mendengar kata babi busuk. Rasanya, tercium lagi bau busuk yang tadi membuatnya muntah-muntah di kedai makan. Tapi, dengan cepat, dia membuang ingatan itu. “Benar,” kata Ciang Hui Ling. “Baunya seperti babi busuk.” Kedua orang itu tertawa lebih keras. Tawa mereka pastilah berbau babi busuk. Sreeet! Ciang Hui Ling menghunus pedang dari pinggangnya. Sebilah pedang ramping yang berkilat memantulkan cahaya matahari. Ciang Hui Ling menunjuk kabin kecil di perahu itu dengan ujung pedangnya. “Perlihatkan kepadaku, apa yang kalian bawa!” Kali ini, kedua orang itu sama-sama berdiri. Tapi, tangan mereka masih sama-sama menggenggam dayung perahu. Perahu masih bergerak ke depan, sisa kayuhan terakhir mereka. Tapi, sangat pelan karena memang berlawanan arah dengan arus air. Hanya saja, karena air di situ mengalir sangat pelan, boleh dikatakan perahu pun nyaris diam di tempat. “Krrrhhh. Siapakah Nona sehingga merasa punya hak memerintah kami?” “Sebagai warga tepi Sungai Ci Liwung, aku berkepentingan untuk menjaga daerah ini tetap aman.” Kedua orang berpakaian hitam-hitam itu saling pandang lagi di antara mereka, lalu tertawa berbarengan. Rupanya, mereka sudah terbiasa saling pandang dulu, kemudian tertawa bersama-sama. Semacam ikatan batin yang terjadi karena sudah lama hidup bersama-sama. Ciang Hui Ling geram karena merasa disepelekan. “Harap kalian ketahui, namaku Ciang Hui Ling, murid Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung.” []
Bagaimana sih sejarah kitab bunga matahari itu? Kitab Bunga Matahari sunflower manual adalah salah satu ilmu paling kuat dalam cerita Pendekar Hina Kelana smiling proud wanderer / the swordsman. Kitab ini merupakan kitab ilmu yang diperebutkan oleh dunia persilatan. Biarpun kuat, ternyata ilmu ini memiliki persyaratan yang berat, dimana yang ingin mempelajarinya harus melakukan Pedang Penakluk iblis milik keluarga Lin diciptakan berdasarkan intisari daripada ilmu kitab bunga matahari, dan juga menggunakan pedang sebagai media. Jubah biksu yang tertulis ilmu pedang penakluk iblis ini nantinya dihancurkan oleh Lin Pingzhi setelah dia mempelajarinya, jadi boleh dibilang ilmu dan rekam tulisan cara mempelajari ilmu ini menghilang dari dunia persilatan. Sekte Qingcheng sempat berusaha mempelajari gerakan ilmu luar pedang penakluk iblis ini, karena tidak mengetahui rahasianya, sehingga terkesan tidak hebat. kitab bunga matahari Wuxia Indonesia Indonesian Youth. Pengagum bela diri Indonesia seperti Pencak Silat. All About Cerita Silat; mulai dari Ulasan Sinopsis Serial Drama China Wuxia, Review Film Silat Mandarin, Diskusi Novel cersil, Game, movie, komik Jin Yong, Gu Long, dll.
Terjebak di Tanah Antah-berantah SEBUAH segitiga berujung tajam menancap dalam hingga melesak hampir separuhnya pada kulit sebatang pohon. Sebagian malah melesak ke batangnya. Batang pohon kiara itu tergolong keras. Jadi, bisa dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang dilepaskan orang yang melontarkan senjata rahasia itu. Kalau saja Jaka Wulung tidak menubruk Ciang Hui Ling, gadis itu tentu akan menjadi mangsa yang empuk. Segitiga itu menancap di pohon dengan ketinggian sekitar pundak Jaka Wulung. Jadi, senjata itu mengarah ke leher Ciang Hui Ling, salah satu sasaran yang mematikan di tubuh manusia. Sekali menancap di leher seseorang, jalan napas akan langsung terputus. Jaka Wulung menarik segitiga berujung tajam itu dari kulit dan batang kiara. Dibutuhkan pengerahan tenaga yang cukup besar bagi sang pendekar belia untuk menarik segitiga maut itu. Senjata rahasia adalah sesuatu yang dibenci Jaka Wulung. Dia sudah merasakan “senjata rahasia” berupa pistol. Bahkan, luka di lengannya masih terasa sedikit ngilu. Menurut pemikiran sederhana Jaka Wulung, senjata rahasia adalah ciri orang pengecut. Apa pun jenisnya, sumpit, jarum, dan sebagainya. Mereka memanfaatkan kelengahan lawan. Mereka menghindari sikap kesatria untuk berhadapan langsung dalam pertempuran yang adil. Jaka Wulung mencoba menerka asal segitiga maut itu dari arah lemparannya. Tentu saja, dari arah selatan, dari sebuah gerumbul perdu yang rapat. Ada beberapa gerumbul di sekitar tempat itu. Juga pepohonan besar meskipun tumbuh tidak terlalu rapat. Namun, gerumbul yang satu itu diam tak bergerak. Dedaunannya seakan-akan merupakan patung belaka. Dan kediaman itu justru mencurigakan karena angin di sekitarnya berembus cukup kencang untuk menggoyang gerumbul-gerumbul yang lain. Ada orang di balik gerumbul itu, yang sengaja menahan rerantingnya supaya tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun pada daun-daunnya. Sungguh ilmu yang pantas dikagumi. Sekaligus sebuah kesalahan besar. Jaka Wulung menjentikkan jemarinya. Segitiga bersisi tajam itu pun meluncur mendesing mengarah ke gerumbul yang mencurigakan di depannya. Jaka Wulung sengaja melakukan serangan untuk mendahului kemungkinan serangan gelap dari orang di balik gerumbul itu. Menyerang adalah pertahanan terbaik. Dia juga sengaja mengarahkan segitiga maut itu agak ke bawah. Akan tetapi, sebelum segitiga itu mengenai sasarannya, seseorang di balik gerumbul itu sudah lebih dulu meloncat keluar, lalu melarikan diri dengan cepat ke selatan. Siapa pun orang itu, dia mampu menghindari jentikan segitiga maut, senjata yang tadi dia lemparkan sendiri, dari tangan Jaka Wulung. Jelas, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tidak bisa dianggap ringan. Siapa dia? Hanya pakaian putih dan ikat kepala hitam yang bisa dilihat dari belakang. Orang itu sudah melesat jauh dari gerumbul yang dia tinggalkan. Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling sejenak saja, sebelum meloncat dan melesat mengejar orang itu. Ciang Hui Ling tidak perlu berpikir lama untuk juga melenting dan mencoba mengikuti gerakan Jaka Wulung. Sambil berlari, Jaka Wulung berkata pelan, “Maaf, Lingling, kita tampaknya harus melupakan dulu urusanmu.” Ciang Hui Ling menoleh dan menjawab, “Ini juga urusanku, Jaka. Senjata itu mengarah kepadaku, lagi pula ....” Ciang Hui Ling menghentikan kata- katanya. Jaka Wulung menoleh. Menunggu kata-kata lanjutan gadis itu. “ Urusanmu urusanku juga.” Jaka Wulung tersenyum, “Ayo!” Pepohonan di sekitar tempat itu makin lama makin rapat, dan Jaka Wulung serta Ciang Hui Ling mesti berhati-hati mengejar orang itu. Jaka Wulung kemudian bahkan menyilakan Ciang Hui Ling berada sedikit di depan. Bagaimanapun, Ciang Hui Ling, yang sudah bertahun-tahun tumbuh di sepanjang Ci Liwung, jauh lebih mengenal tempat itu dibandingkan dengan Jaka Wulung, yang lebih banyak mengandalkan naluri. Di bawah didikan Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling memang tumbuh menjadi anak yang tidak suka bermanja-manja di sekitar pondok. Dia kerap menelusuri sepanjang tepi Ci Liwung, baik ke arah hilir hingga muara maupun arah hulu hingga jauh ke dalam hutan. Tidak jarang, dia melakukannya sendirian, tanpa setahu Tan Bo Huang, yang kerap membuat sang guru itu kelimpungan karena cemas akan keselamatan murid sekaligus putri sahabatnya. Sebab, kadang Ciang Hui Ling terlampau meremehkan keadaan. “Awas, Lingling!” Sebuah benda logam tipis berkilat melesat mengarah menuju mereka. Benda itu berputar dengan cepat sehingga yang tampak adalah sebuah bundaran yang kabur. Ziiing! Orang yang mereka buru melepaskan senjata mautnya, segitiga logam bersisi tajam. Orang itu tampaknya merasa bahwa ilmu lari cepatnya masih kalah tatarannya dibandingkan dengan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Karena itu, berbekal senjata mautnya berupa segitiga bersisi tajam, sang buruan berupaya supaya tidak tertangkap. Setidaknya, dia bisa menunda waktu sebelum muncul bantuan. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling terpaksa menahan langkah untuk menghindari ancaman maut itu. Segitiga logam bersisi tajam itu lewat mendesing hanya sejengkal-dua jengkal dari wajah mereka. Jika sudah begitu, jarak antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan buruan mereka menjadi renggang lagi. Beberapa kali orang itu melepaskan senjata mautnya sembari berlari tanpa menoleh ke belakang, dan tiap kali itu juga, senjatanya tetap mengincar titik berbahaya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Jelas bahwa orang itu memiliki naluri yang sangat peka, yang hanya dimiliki orang yang sangat terlatih, dan hal itu memberinya waktu yang lapang untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali pula, langkah lari cepat Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling harus tertahan. Dan hal itu, lama-kelamaan menjengkelkan Jaka Wulung. Dia pun bersiap mengambil napas untuk melipatgandakan tenaga lari cepatnya. Akan tetapi, pada saat itulah, si orang buruan mendadak berbelok secara tajam menjauh dari tebing sungai, mengarah ke timur, menuju kerimbunan hutan yang makin rapat. Siapa sebenarnya orang itu? Apa tujuannya menyerang dia dan Ciang Hui Ling? Jaka Wulung merasa tidak memiliki persoalan dengan orang-orang yang menggunakan senjata rahasia berupa segitiga logam bersisi tajam. Pada saat mereka tiba di Pelabuhan Kalapa, sempat terjadi kehebohan ketika seseorang tewas akibat senjata maut itu. Tapi, mereka tidak terlalu memedulikan peristiwa itu karena mereka berpikir bahwa kejadian itu tidak berkaitan dengan diri mereka. Lalu, mengapa kini yang menjadi sasaran adalah mereka sendiri? Dari kelompok atau perguruan manakah orang itu berasal? Jaka Wulung yakin bahwa orang itu tidaklah sendirian. Sangat mungkin bahwa orang itu hanya salah satu anggota kelompok besar dengan tujuan yang belum diketahui secara pasti. Apa yang dilakukan oleh orang itu tampaknya sudah direncanakan dengan matang. Dari kelompok apakah orang itu berasal? Dari perguruan manakah? Kalau benar bahwa dia berasal dari sebuah kelompok tertentu, apakah mereka juga yang melakukan pembakaran terhadap pondok Tan Bo Huang dan membawa pergi pendekar gagah berjulukan Naga Kuning dari Ci Liwung itu? Kalau benar bahwa mereka kelompok yang mampu membawa, apalagi membinasakan, Tan Bo Huang, tentu mereka adalah kelompok yang sangat kuat. Memiliki pemikiran yang seperti itu, Jaka Wulung menjadi berdebar- debar. Jika benar dugaannya, tentu dia dan Ciang Hui Ling sedang menuju sarang buaya yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Jaka Wulung makin berhati-hati dan waspada. Segera dia kerahkan kepekaan naluri dan pancaindranya hingga tataran yang tinggi untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka sudah makin jauh dari titik awal keberangkatan dari pondok Tan Bo Huang. Jauh ke selatan. Tidak hanya itu, mereka sudah jauh dari daerah tepi Sungai Ci Liwung. Jauh ke timur. Begitu jauhnya sehingga Ciang Hui Ling sendiri lama-kelamaan sadar bahwa dia belum pernah merambah daerah itu. Daerah yang baginya masih antah-berantah. Jalan yang mereka tempuh terus menanjak meskipun tidak terlalu curam kemiringan tanahnya. Perdu dan pepohonan makin rapat. Matahari yang mulai condong ke barat menimpa punggung mereka. Akan tetapi, bahkan sinar matahari pun lama-kelamaan tidak lagi terasa menyengat karena lebih banyak terhalang oleh batang dan dedaunan hutan. Makin lama, mereka pun makin terseret jauh ke dalam hutan lebat. Barangkali, inilah sebab mengapa sungai itu dinamakan Ci Liwung. Kata liwung, yang dilekatkan dengan kata luwang menjadi luwang-liwung, berarti hutan belantara. Mereka kini berada di hutan belantara. Bagi Jaka Wulung, hutan belantara bukanlah tempat yang asing. Semenjak kecil, dia terbiasa tersaruk-saruk di rimba, bahkan sampai tersasar di Bukit Baribis, bertemu dengan Ki Jayeng Segara dan murid-muridnya, dan yang kemudian mengubah jalan hidupnya ketika dia nyaris tewas karena jatuh ke jurang Ci Gunung, sebelum diselamatkan Resi Darmakusumah. Akan tetapi, Ciang Hui Ling, kendatipun bukan jenis anak penakut, belum terbiasa masuk terlalu jauh ke kedalaman hutan. Karena itu, kini Jaka Wulung-lah yang berada di depan. Kini, orang yang mereka buru bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Jejak yang ditinggalkannya, baik berupa jejak kaki di tanah maupun reranting patah, nyaris tidak lagi bisa dikenali. Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah tanah yang lapang, sebidang lahan selebar kira-kira tiga puluh langkah, berumput tebal dan dikelilingi pepohonan hutan yang rapat. “Jaka, tampaknya kita terjebak.” “Ya, berhati-hatilah, Lingling.” Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri beradu punggung, memandang sekitar dengan tatapan setajam mata elang. Selain bebunyian dedaunan dan angin lemah, tidak terdengar suara lain. Nyaris sunyi. Sunyi yang mencengkeram jantung. Sungguh aneh, hutan itu sama sekali tidak memperdengarkan bunyi binatang apa pun. Seakan-akan binatang pun enggan menyambut kedatangan mereka. Hening. Hening yang menjebak. Tiba-tiba di keheningan itu mendesing sesuatu, dari arah Ciang Hui Ling menghadap. Dengan cepat, Ciang Hui Ling menghunus pedangnya untuk menangkis benda yang meluncur ke arahnya. Secara naluriah, dia tidak ingin menghindar karena itu berarti akan menyebabkan sesuatu itu akan meluncur dan mungkin saja mengenai Jaka Wulung yang berada di belakangnya. Terdengar suara denting yang keras disertai letikan bunga-bunga api ketika pedang Ciang Hui Ling berbenturan dengan benda itu. Ciang Hui Ling merasakan genggaman tangannya bergetar ketika terjadi benturan. Benda itu memantul dan jatuh sekitar lima langkah dari Ciang Hui Ling. Sebatang tombak pendek dan tipis terbuat dari baja! “Bagus, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, hanya beberapa jenak. Dari arah Jaka Wulung menghadap, melesat sebuah benda yang berkilau keperakan. Jaka Wulung memiliki pikiran yang sama, yakni dia tidak berniat menghindar karena benda itu tentu akan mengarah kepada Ciang Hui Ling di belakangnya. Karena itu, dengan cepat, dia menarik senjatanya, kudi hyang, yang sangat jarang dia gunakan, kecuali pada saat- saat sangat terdesak—sebuah benda pusaka yang secara ajaib dia terima dari leluhur yang paling dihormati bangsa Sunda, Prabu Niskala Wastukancana. Terdengar dentang yang lebih keras dan bunga api yang lebih menyilaukan, meskipun saat itu siang masih benderang, ketika kudi hyang Jaka Wulung berbenturan dengan benda berkilau keperakan itu. Benda itu memantul, berbalik arah dan melesat ke arah semula. Sebilah pedang pendek, pikir Jaka Wulung. Terdengar suara gemeresik di balik gerumbul, beberapa puluh langkah di depan Jaka Wulung. Tapi, tidak terdengar pekik atau teriak kesakitan. Si pelempar pedang itu tentu berhasil menghindari serangan balik yang dilakukan Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, udara seakan-akan bergetar oleh tegangan yang ditimbulkan oleh kesunyian. Pedang ramping Ciang Hui Ling teracung di depan dadanya. Tangan kirinya mengepal. Kudi hyang melintang di depan dada Jaka Wulung. Telapak tangan kirinya lurus dengan jemari yang rapat. Pada saat yang bersamaan, meluncur empat macam benda dari empat arah yang berbeda. Masing-masing dari arah depan Jaka Wulung, dari arah kanan dia, dari arah depan Ciang Hui Ling, dan dari arah kanan gadis itu. Pada saat yang sama pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menggerakkan senjata mereka menyambut masing-masing dua benda yang melesat ke arah mereka. Terdengar empat kali suara denting dan empat semburan bunga api ketika senjata mereka berbenturan dengan empat senjata yang dilepaskan dari empat penjuru. Dua senjata memantul oleh pedang Ciang Hui Ling, sama-sama terlontar ke udara, lalu hampir berbarengan jatuh bergeletakan sekitar dua langkah di depannya. Sebilah golok dan pedang pendek. Dua senjata lainnya terpental oleh entakan kuat kudi hyang Jaka Wulung. Sebatang trisula, senjata berujung tiga, melenting jauh dan menembus segerumbul perdu. Sebatang tombak pendek patah nyaris di titik tengah, bagian pangkalnya jatuh di tanah, tapi bagian ujungnya melesat kembali mengarah ke asal datangnya benda itu, menembus kedalaman hutan, tanpa suara. Hening lagi di tempat itu. Bayang-bayang perdu makin memanjang di bagian timur. “Hati-hati, Lingling, ini baru pemanasan,” bisik Jaka Wulung. “Ya,” Ciang Hui Ling mengangguk. Ketegangan merambat di udara. Dari kening Ciang Hui Ling, menetes sebutir air bening. Keringat yang hangat. “Bersiaplah,” bisik Jaka Wulung lagi.[]
Pendekar Sadis Merupakan Seri kelima dari Serial Pedang Kayu Harum karangan Kho Ping Hoo, cersil ini merupakan lanjutan dari kisah sebelumnya yaitu pendekar Lembah Naga. "Cuplikan Pagi yang sangat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga begitu indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa kegembiraan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan sinarnya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, menimbulkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang terkecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara mau pun yang berjalan dan merayap di atas bumi. Matahari pagi yang demikian indahnya, sinar keemasan yang menerobos lewat di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seakan-akan mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, tetapi hanya sementara saja. Demikian pula dengan sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan." Loading....
cerita silat mandarin pendekar matahari